Dampak Ataksia Pada Sistem Koordinasi

 

Bab 1 Masalah

Latar Belakang Masalah

Pengertian Ataksia 

Ataksia merupakan sebuah penyakit genetik langka yang merusak sistem saraf secara progresif dan dapat menyebabkan gangguan pada pergerakan. Kerusakan yang ditimbulkan adalah degenerasi pada sumsum tulang belakang dan saraf tepi serta otak kecil (degenerasi spinocerebellar) yang berfungsi untuk mengontrol gerakan otot dan koordinasi pada bagian lengan dan kaki. (Cook & Giunti, 2017)

Rentang Umur Muncul Gejala Ataksia 


Gejala Ataksia  biasanya sudah timbul pada masa anak-anak sampai remaja, yaitu pada usia 5-15 tahun, yang kemudian menyebabkan gangguan koordinasi gerakan yang akan memburuk seiring berjalannya waktu. Gejala paling cepat muncul disaat awal 18 bulan dan paling lambat 30 tahun, dan gejala yang paling umum adalah kesulitan berjalan.  (Nord, 2019)



Jenis-Jenis Ataksia

Ataksia merupakan penyakit yang dapat dibagi menjadi daerah area yang terkena pada sistem saraf pusat. Dilihat dari lokasi yang diserang, Ataksia dibagi menjadi beberapa jenis, sebagai berikut: 

Ataksia Sensorik

Ataksia sensorik sesuai dengan namanya menyerang sistem somatosensorik, sistem saraf yang mengatur rasa getar atau posisi. Menurut (Octaviani, Sp.S, 2021) beliau menggambarkan individu yang memiliki ataksia sensorik ,dalam kondisi tidak dapat melihat akan terlihat seperti berjalan pada bantal.


Ataksia Vestibular 

Ataksia Vestibular merupakan kerusakan pada sistem vestibular, tepatnya di telinga bagian dalam. Sistem vestibular memiliki fungsi untuk mengatur pergerakan kepala, keseimbangan tubuh, dan mempertahankan postur tubuh dalam ruangan. (Octaviani, Sp.S, 2021)


Ataksia Serebelum

Ataksia serebelum merupakan ataksia yang merusak bagian serebelum pada otak, ketika ataksia menyerang serebelum, hal tersebut merusak keseimbangan dan koordinasi individual para penderita ataksia serebelum. (Octaviani, Sp.S, 2021)


Gejala Ataksia Secara General

Gejala Ataksia dapat berkembang secara perlahan dan dapat menyerang secara tiba-tiba, gejala-gejala tersebut meliputi gangguan saraf seperti, penglihatan mata menjadi ganda, penglihatan menjadi kabur, terjadinya tremor pada otot, adanya gangguan ketika berpikir atau saat mengendalikan emosi. Ketika jantung mengalami gangguan, koordinasi gerak tubuh memburuk, langkah kaki yang menjadi tidak stabil, dan terasa seperti mau jatuh, terdapat perubahan dalam cara bicara, mengalami kesulitan dalam menelan makanan, (nistagmus), yaitu ketika gerakan bola mata menjadi tidak normal, tubuh merasa mudah lelah, kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitas sederhana, seperti menulis, makan, dan memakai baju. (Service UK, 2021) (Channel) 




Bab 2 Penyebab Masalah

Ataksia dari Genetik

Ataksia juga dapat diturunkan secara genetik, kasus ini terjadi saat kelainan pada gen tertentu yang kemudian membuat fungsi sel saraf pada otak dan tulang belakang menjadi terganggu dan berakibat pada sel saraf yang mengalami kerusakan. Berikut adalah jenis jenis ataksia genetik, yang pertama adalah ataksia spinoserebelar yang biasanya penyakit ini muncul pada orang dewasa di usia 25 sampai 80 tahun, lalu yang kedua adalah ataksia episodik, biasanya penyakit ini muncul pada masa remaja, kemudian yang ketiga ataksia friedreich, biasanya penyakit ini diderita sebelum usia 25 tahun, setelah itu, yang keempat adalah ataksia telangiektasia, penyakit ini cenderung progresif dan biasanya terjadi pada anak-anak, lalu yang kelima adalah ataksia serebelar bawaan, Kondisi ini terjadi akibat kerusakan di otak kecil saat lahir, dan yang keenam adalah penyakit wilson, penyakit ini umumnya muncul di usia remaja. (Kuo, 2019) (Clinic)

Ataksia dari Bakteri dan Virus

Ataksia juga dapat muncul dari bakteri atau virus, seperti contohnya, infeksi bakteri di otak, seperti meningitis atau ensefalitis, infeksi dari sebuah virus yang dapat menyebar hingga ke otak, seperti penyakit cacar air atau campak dan infeksi virus COVID-19 yang parah. 

Ataksia dari Penyakit

Ataksia juga dapat muncul dari penyakit seperti contohnya, kondisi yang dapat mengganggu asupan darah ke otak, seperti penyakit stroke atau pendarahan di otak, terdapat Tumor otak atau jenis kanker lainnya, terdapat gangguan tiroid (hipotiroidisme dan hipoparatiroid), adanya Cerebral palsy, terdapat Penyakit autoimun (sarkoidosis, penyakit celiac atau multiple scelerosis), munculnya sindrom paraneoplastik, yaitu gangguan sistem kekebalan tubuh karena kanker dan karena faktor hidrosefalus.

Ataksia dari Faktor Eksternal

Ataksia juga bisa terjadi dari faktor eksternal seperti, cedera kepala yang disebabkan oleh jatuh atau kecelakaan, kekurangan vitamin B1, B12, atau E, karena reaksi dari racun atau efek samping obat-obatan, (obat penenang atau obat kemoterapi) dan kecanduan pada minum-minuman beralkohol atau penyalahgunaan NAPZA. (Staff, 2020)


Bab 3 Dampak Masalah

Dampak Ataksia pada Sistem Gerak

Ataksia Serebelum (otak kecil)

Ataksia serebelum terjadi di bagian serebelum atau otak kecil yang berperan dalam keseimbangan dan koordinasi. Dampak ataksia serebelum pada sistem gerak seperti sulit berjalan, otot lemah atau tremor dan berjalan dengan langkah lebar.



Ataksia sensorik

Ataksia sensorik terjadi di saraf tulang belakang atau sistem saraf perifer. Saraf tepi atau saraf perifer adalah bagian sistem saraf, selain otak dan saraf tulang belakang. Dampak ataksia sensorik pada sistem gerak seperti, mengalami mati rasa di tungkai dan langkah yang berat ketika berjalan 


 

Ataksia Vestibular

Ataksia vestibular terjadi pada bagian sistem vestibular, tepatnya di telinga bagian dalam, fungsi dari vestibular adalah untuk mengatur gerakan kepala. Keseimbangan tubuh dan kemampuan tubuh untuk menilai jarak dengan benda-benda di sekitarnya. Dampak ataksia vestibular pada sistem gerak seperti, sulit untuk berjalan lurus dan kesulitan saat berdiri atau saat duduk. (Octaviani, Sp.S, 2021)



Dampak Ataksia pada Sistem Saraf 

Ataksia sensorik

Ataksia sensorik terjadi di saraf tulang belakang atau sistem saraf perifer. Saraf tepi atau saraf perifer adalah bagian sistem saraf, selain otak dan saraf tulang belakang. Dampak ataksia sensorik pada saraf seperti, mengalami kesulitan dalam menyentuh hidung dengan mata yang tertutup, tidak dapat merasakan getaran, mengalami mati rasa di tungkai, langkah yang berat ketika berjalan, kesulitan berjalan dalam cahaya yang redup. 


Ataksia Vestibular

Ataksia vestibular terjadi pada bagian sistem vestibular. Tepatnya di telinga bagian dalam, fungsi dari vestibular adalah untuk mengatur gerakan kepala.Keseimbangan tubuh dan kemampuan tubuh untuk menilai jarak dengan benda-benda di sekitarnya. Dampak ataksia vestibular pada sistem saraf seperti, mengalami mual dan muntah, adanya gangguan penglihatan atau pandangan kabur, mengalami vertigo atau pusing, sulit untuk berjalan lurus dan kesulitan saat berdiri atau saat duduk. 


Ataksia Serebelum (otak kecil)

Ataksia serebelum terjadi di bagian serebelum atau otak kecil yang berperan dalam keseimbangan dan koordinasi. Dampak ataksia serebelum pada sistem saraf seperti sulit berjalan, otot lemah atau tremor, berjalan dengan langkah lebar, terjadinya perubahan suara, bicara menjadi cadel dan mengalami pusing. (Octaviani, Sp.S, 2021)


Dampak Ataksia pada Hormon

Penyakit ataksia memiliki hubungan terhadap hormon pertumbuhan manusia yaitu (HGH),  Ataxia telangiectasia (A-T) adalah gangguan resesif manusia yang ditandai dengan ataksia serebelar progresif, imunodefisiensi, ketidakstabilan genetik, dan kerentanan kanker. Hal tersebut membuat banyak pasien menderita kegagalan pertumbuhan, berdasarkan penelitian dari para peneliti di Growth Factors (Sandra Voss, Julia Pietzner, Franziska Hoche, Alexander Malcolm R. Taylor, James I. Last,  Ralf Schubert dan Stefan Zielen), penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis tingkat pertumbuhan dan IGF-1/BP3 dari 24 pasien AT dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat yang sesuai usia (n¼36). Hasil: Sepuluh (41,7%) pasien AT dan tidak ada kontrol yang sehat memiliki tingkat IGF-1 di bawah persentil ke-3 untuk usia. Tes stimulasi hormon pertumbuhan (GH) mengungkapkan defisiensi GH (growth hormon) yang parah tanpa peningkatan 45 ng/ml pada enam dari sepuluh pasien A-T. Tes generasi IGF-1 mengungkapkan peningkatan normal dalam nilai IGF-1 pada semua pasien. Kesimpulan: Hasil kami menunjukkan bahwa gangguan pada sumbu GH/IGF-1 terjadi pada 58,3% pasien A-T. Tingkat GH yang rendah merupakan akibat dari berkurangnya sekresi GH sentral. Pengobatan GH dapat menjadi pilihan terapi untuk pasien A-T dengan kegagalan pertumbuhan yang parah. (Voss et al., 2014)


Dampak Ataksia pada Alat Indera

Ataksia sensorik

Ataksia sensorik terjadi di saraf tulang belakang atau sistem saraf perifer. Saraf tepi atau saraf perifer adalah bagian sistem saraf, selain otak dan saraf tulang belakang. Dampak ataksia sensorik pada alat indera seperti, mengalami kesulitan dalam menyentuh hidung dengan mata yang tertutup, tidak dapat merasakan getaran dan kesulitan berjalan dalam cahaya yang redup. 


Ataksia Vestibular

Ataksia vestibular terjadi pada bagian sistem vestibular. Tepatnya di telinga bagian dalam, fungsi dari vestibular adalah untuk mengatur gerakan kepala.Keseimbangan tubuh dan kemampuan tubuh untuk menilai jarak dengan benda-benda di sekitarnya. Dampak ataksia vestibular pada indera seperti, mengalami mual dan muntah, adanya gangguan penglihatan atau pandangan kabur, mengalami vertigo atau pusing dan sulit untuk berjalan lurus.


Ataksia Serebelum (otak kecil)

Ataksia serebelum terjadi di bagian serebelum atau otak kecil yang berperan dalam keseimbangan dan koordinasi. Dampak ataksia serebelum pada alat indera seperti terjadinya perubahan suara dan bicara menjadi cadel. (Octaviani, Sp.S, 2021)



Bab 4 Alternatif Solusi

Diagnosis Ataksia

Cara mendiagnosa ataksia oleh dokter, diawali dengan tanya jawab antar pasien dan dokter terkait adanya riwayat penyakit ataksia dalam keluarga dan juga gejala yang dialami oleh pasien. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan pada sistem saraf, dengan cara memeriksa fungsi penglihatan, pendengaran, koordinasi, keseimbangan, konsentrasi, ingatan dan refleks pasien. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyebab dari ataksia seperti, pemeriksaan cairan serebrospinal atau yang biasa disebut sebagai pungsi lumbal yang berguna untuk mendeteksi infeksi, Memeriksa sampel darah yaitu tes genetik yang digunakan untuk memastikan apakah penyakit ataksia yang diderita disebabkan oleh mutasi genetik, lalu dengan cara elektromiografi (EMG) Yang digunakan untuk memeriksa kondisi saraf dan kontraksi otot dan melakukan pemindaian dengan foto rontgen,  CT scan atau MRI yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi yang abnormal di otak. (Delgado, 2022) (Medicine, 2021)

Perawatan Ataksia

Setelah sudah ditemukan jenis ataksia, menemukan penyebab spesifik dan terapi untuk mengatasi penyebab tersebut menjadi solusi mengatasi ataksia. Walaupun begitu perawatan ataksia masih terhambat dengan menemukan terapi untuk gangguan serebelum genetik atau ataksia yang disebabkan oleh kondisi organ atau jaringan yang bersifat degeneratif. Ataksia yang dapat diobati tetap menjadi ataksia yang diperoleh seperti ataksia yang dikarenakan oleh kekurangan vitamin, gangguan metabolisme lainnya, paparan zat beracun, efek samping obat, proses autoimun / paraneoplastik, infeksi saraf atau peradangan, dan lesi struktural. (Pedroso, 2019) Perawatan yang dijalani untuk mengatasi penyebab ataksia dapat dibagi sebagai berikut:


Rehabilitasi

Untuk mengatasi kekurangan dalam keseimbangan, kekuatan dan kelentukan pada otot, terapi dilakukan dalam bentuk program olahraga yang berorientasi di rumah. Selain itu kesulitan untuk berbicara dan menelan dapat dibantu juga melalui terapi tersebut. Dengan evaluasi keselamatan di rumah dan melalui bantuan alat untuk melanjutkan terapi, diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup serta keselamatan pasien dan keluarga untuk membantu dan menjaga kemandirian pasien agar dapat menjalankan aktivitas kembali. (Hartley, 2019)


Neurostimulasi Non-invasif

Menurut (Grimaldi, 2013) stimulasi pada bagian otak melalui hal tertentu dapat secara efektif mempengaruhi fungsi motorik serebelum, serta tugas pelacakan visual, adaptasi motorik dan pembelajaran, dan operasi kognitif dan afektif yang dimediasi oleh jalur serebro-sebellar. Stimulasi yang dimaksud sebagai berikut:



Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) 

Stimulasi menggunakan medan magnet untuk menstimulasi saraf pada otak menurut (Labrada, 2018) efektif untuk mengobati rasa pusing yang dirasakan penderita ataksia vestibular, melakukan diagnosis dan pengawasan terhadap ataksia. 



Transcranial Direct Current Stimulation (tDCS)

Stimulasi menggunakan arus searah yang konstan dan rendah kepada otak terbukti efektif untuk meningkatkan nilai individu pada semi-quantitative assessment of cerebellar ataxia atau disingkat SARA, yang merupakan uji klinik yang menentukan tingkat ataksia pada individu. Menurut (Benussi, 2018)  dua puluh pasien dengan ataksia neurodegeneratif menunjukkan, pada 1 dan 3 bulan, peningkatan yang signifikan dalam semua skor kinerja yang secara efektif memodulasi konektivitas motorik serebelum dalam jangka pendek dan panjang.



Obat Simtomatik

Obat simtomatik merupakan obat yang merawat berdasarkan gejala yang timbul. Tinjauan Sistematis Komprehensif: Pengobatan Disfungsi Motorik Serebelum dan Ataksia (Laporan Subkomite Pengembangan, Diseminasi, dan Implementasi Pedoman dari American Academy of Neurology) menemukan ada bukti kelas I selama 2-3 bulan hingga satu tahun untuk efektivitas 4-aminopiridin 15 mg/hari pada ataksia episodik tipe 2 dan riluzole 50 mg setiap 12 jam pada ataksia serebelar dan ataksia Friedreich.


Ada beberapa obat simtomatik yang sedang dikembangkan untuk ataksia serebelar, semuanya ditujukan untuk meningkatkan fungsi sel Purkinje. Troriluzole, pro-obat riluzole, sedang dalam uji coba fase 3 untuk ataksia spinocerebellar oleh Biohaven Pharmaceuticals. (trials, 2021) Cadent Therapeutics akan memulai uji coba fase 2 CAD-1883 untuk ataksia spinocerebellar (trials, 2021) Takeda menyelesaikan uji coba fase 2 TAK-831 pada ataksia Friedreich. (trials, 2021) Riluzole, pembuka saluran kalium aktif-kalsium konduktansi kecil (saluran SK) dan penambah transporter glutamat, mengurangi defisit pada model tikus ataksia melalui pengurangan rangsangan berlebih dari neuron Purkinje. CAD-1883, modulator alosterik positif molekul kecil dari saluran SK, juga dapat mengatur penembakan sel Purkinje. TAK-831, penghambat molekul kecil d-amino acid oxidase (DAO), mengarah pada peningkatan terukur kadar d-serin dalam plasma, CSF, dan otak kecil pada hewan pengerat. d-Serin, ko-agonis reseptor glutamat tipe N-metil d-aspartat (NMDA) yang kuat dan agonis untuk subunit reseptor glutamat delta 2, dapat menyebabkan peningkatan output serebelar dalam bentuk pembelajaran dan pengkondisian motorik.


IntraBio Inc. sedang mempelajari formulasi baru (N-asetil-l-leusin) dari asetil dl leusin yang digunakan di Prancis selama 60 tahun untuk vertigo dengan merek Tanganil, yang dapat mengatur potensi membran sel Purkinje serebelum dan memengaruhi kontrol motorik dan mekanisme vestibular-cerebellar adaptif. (trials, 2021)


Erydel telah mengembangkan teknologi pengiriman intra-eritrosit, saat ini dalam pengujian untuk deksametason pada ataksia telangiectasia. (trials, 2021)


Vitamin, Suplemen, dan Pengobatan Komplementer

Perawatan melalui vitamin, suplemen dan pengobatan komplementer digunakan untuk pengobatan ataksia. Menurut (Zesiewicz, 2018) Ataksia Friedreich adalah yang paling terwakili dari gangguan ataxic, setelah memiliki uji coba vitamin E, dua turunan vitamin E, koenzim Q10, idebenone, asetil-l-karnitin, resveratrol, dan Cardero Therapeutics—Epicatechin.


Terapi Modifikasi Penyakit

Terapi modifikasi penyakit (DMTs) merupakan terapi yang dapat mengurangi berapa banyak kambuh seseorang memiliki dan seberapa serius mereka. Mereka juga dapat memperlambat kerusakan yang disebabkan oleh kambuh multiple sclerosis yang menumpuk dari waktu ke waktu. (Dueñas, 2014)


Neuroprotektif

Neuroprotektif berfungsi untuk melindungi saraf otak yang terkena cedera atau mendegenerasi. Disebabkan oleh faktor penuaan, genetik, dan lingkungan serta pengaruhnya terhadap homeostasis neuron (fungsi mitokondria, peradangan saraf), yang mengikuti adalah aktivasi jalur pro-degeneratif , caspases dan lainnya hingga akhirnya kematian neuron, seperti apoptosis, nekroptosis, autofagi. Tetapi yang dicari adalah bagian mana yang paling penting untuk dimodifikasi, untuk menghentikan atau memperlambat proses ini. (Subramaniam & Unsicker, 2009) (Andreone et al., 2019) (Prentice et al., 2015)(Meera et al., 2016)


Anti apoptosis/Anti-eksi toksisitas

Setelah penyelidikan yang dilaksanakan ALS terhadap agen neuroprotektif, membuahkan dua obat yang disetujui FDA untuk ALS, yaitu riluzole, yang memiliki efek sederhana pada kelangsungan hidup. Riluzole melindungi diri dari degenerasi neuron motorik eksitotoksik dengan mengganggu transmisi glutamatergik dan menurunkan konsentrasi glutamat, dengan efek pada reseptor NMDA atau AMPA. Studi Eropa menunjukkan hal tersebut dapat memiliki efek yang sama pada degenerasi spinocerebellar. (Romano et al., 2015)


Anti-neuroinflammatory

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel imun bawaan otak (mikroglia dan astrosit) dapat mengganggu fungsi dan struktur dari neuron, hal tersebut juga berperan penting dalam patogenesis penyakit neurodegeneratif. (Ising & Heneka, 2018) (Barake et al., 2020) Minocycline telah dipelajari secara praklinis dan dalam uji klinis sebagai pengubah potensial peradangan saraf dan aktivitas caspase pada penyakit neurodegeneratif. (Kalonia et al., 2012)


Peningkatan Mitokondria

Memberikan peningkatan terhadap mitokondria membantu memperbaiki gangguan gerakan neurodegeneratif dengan dugaan disfungsi mitokondria sekunder. Peningkatan mitokondria mengurangi stres oksidatif, mempertahankan produksi energi, dan menunda kematian sel saraf. (Dueñas, 2014)


Penggantian Saraf

Terapi untuk menukarkan saraf yang sudah tua dengan saraf yang baru terbukti efektif untuk membantu kemampuan otak untuk menyampaikan informasi. Menurut (Tsai, 2017) setelah studi label terbuka pengobatan sel induk mesenkim yang berasal dari adiposa intravena pada 6 pasien dengan ataksia spinocerebellar tipe 3 menunjukkan keamanan dan toleransi yang baik selama 1 tahun dengan rencana untuk melakukan uji coba yang lebih besar dan terkendali di masa depan


Pendekatan Genetika dan Epigenetik

Pada ataksia Friedreich, terdapat enam kelompok yang bekerja pada terapi penggantian gen berbasis vektor AAV (Gérard et al., 2014). Manajemen respon neuroinflamasi anti-kapsid dan anti-transgenik berdampak pada keamanan dan kemanjuran dan tetap menjadi tantangan (Perez et al., 2020).


Terapi antisense oligonucleotide (ASO) sedang diselidiki di CAG triplet repeat spinocerebellar ataksia (SCA1, 2, 3, 6, 7) menggunakan model yang diuji dalam HD (Hoffmann & La Roche) (trials), untuk menargetkan mRNA yang kemudian harus dihancurkan sebelum protein poliglutamin dapat dibentuk (Scoles et al., 2019).


Perubahan gen dengan CRISPR/Cas9 menjadi cara untuk mencegah pengulangan triplet yang diperluas secara patologis (GAA pada ataksia Friedreich, CAG pada ataksia spinocerebellar) juga sedang dieksplorasi. (Ouellet et al., 2016) (Ouyang et al., 2018)


Pendekatan epigenetik berfungsi untuk "membuat gen abnormal berperilaku seperti gen normal," percobaan tersebut sedang diuji pada ataksia Friedreich dengan molekul kecil (ASO) dan faktor transkripsi buatan yang memungkinkan transkripsi untuk "membaca" ekspansi GAA "dan tetap memproduksi protein (Gottesfeld, 2019).” RNA mikro telah dilihat pada ataksia spinocerebellar sebagai cara epigenetik untuk memodifikasi transkripsi DNA mutan (Martier et al., 2019)(Dong & Cong, 2019) (Serrano, 2018) (He & Todd, 2011).


Pada penyakit genetik di mana ada penurunan tingkat protein (biasanya kelainan yang diturunkan secara resesif), terapi modifikasi penyakit dapat mencakup penggantian protein atau cara lain untuk memanipulasi jalur metabolisme yang terlibat (misalnya, pada penyakit penyimpanan lisosom, penggunaan terapi reduksi substrat ; pada kelainan lain, strategi untuk mengurangi pemecahan protein yang kurang). Pada ataksia Friedreich, ada studi fase 1 saat ini dari CTI-1601 untuk penggantian protein frataxin oleh Chondrial Therapeutics, Inc.—ClinicalTrials.gov Identifier.

Bab 5 Solusi

Rehabilitasi

Secara keseluruhan “rehabilitasi” menjadi solusi yang terbaik karena kesederhanaan dan tingkat mudah penerapannya. Melalui olahraga yang rutin berfokus pada keseimbangan, kekuatan dan kelentukan pada otot, aktivitas ini akan membantu baik penderita maupun individu biasa. Olahraga yang teratur dapat membantu penderita ataksia yang memiliki kekurangan dalam keseimbangan, kekuatan dan kelentukan pada otot yang akhirnya meningkatkan kualitas hidup serta keselamatan penderita. Sebaliknya, untuk individu baisa olahraga secara rutin dengan meningkatkan dan menguatkan keseimbangan, kekuatan dan kelentukan pada otot akan mengurangi kesempatan untuk menerima penyakit ataksia. (Hartley, 2019)







Sumber

  1. Kuo, S.-H. (2019). Ataxia. CONTINUUM: Lifelong Learning in Neurology, 25(4), 1036–1054. https://doi.org/10.1212/con.0000000000000753 

  2. Nord, N. N. (2019, November 7). Friedreich's ataxia. NORD (National Organization for Rare Disorders). Retrieved February 23, 2022, from https://rarediseases.org/rare-diseases/friedreichs-ataxia/ 

  3. Clinic, S. M. (n.d.). Autosomal recessive inheritance pattern. Mayo Clinic. Retrieved February 23, 2022, from https://www.mayoclinic.org/autosomal-recessive-inheritance-pattern/img-20007457 

  4. Cook, A., & Giunti, P. (2017). Friedreich’s ataxia: Clinical features, pathogenesis and Management. British Medical Bulletin, 124(1), 19–30. https://doi.org/10.1093/bmb/ldx034 

  5. Staff, M. C. (2020, June 3). Ataxia. Mayo Clinic. Retrieved February 23, 2022, from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/ataxia/symptoms-causes/syc-20355652 

  6. Servive UK, N. H. (2021, April 16). National Health Service UK (2021). Health A to Z. Ataxia. NHS choices. Retrieved February 23, 2022, from https://www.nhs.uk/conditions/ataxia/causes/ 

  7. Channel, B. H. (n.d.). Friedreich's ataxia. Friedreich's ataxia - Better Health Channel. Retrieved February 23, 2022, from https://www.betterhealth.vic.gov.au/health/conditionsandtreatments/friedreichs-ataxia 

  8. Octaviani, Sp.S, dr. D. (2021, July 22). Mengenal Ataksia, Penyakit yang Mengganggu Gerakan Tubuh. Rumah Sakit Dengan Pelayanan Berkualitas - Siloam hospitals. Retrieved February 23, 2022, from https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/mengenal-ataksia-penyakit-yang-mengganggu-gerakan-tubuh 

  9. Voss, S., Pietzner, J., Hoche, F., Taylor, A. M., Last, J. I., Schubert, R., & Zielen, S. (2014). Growth retardation and growth hormone deficiency in patients with ataxia telangiectasia. Growth Factors, 32(3-4), 123–129. https://doi.org/10.3109/08977194.2014.939805 

  10. Delgado, A. (2022, February 24). Healthline. healthline. Retrieved February 24, 2022, from https://healthlinetoday.netlify.app/health/acute-cerebellar-ataxia 

  11. Medicine, J. H. (2021). Ataxia. Johns Hopkins Medicine. Retrieved February 24, 2022, from https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/ataxia 

  12. Perlman, S. L. (2020). Update on the treatment of ataxia: Medication and emerging therapies. Neurotherapeutics, 17(4), 1660–1664. https://doi.org/10.1007/s13311-020-00941-3 

  13. Pedroso, J. L., Vale, T. C., Braga-Neto, P., Dutra, L. A., França Jr, M. C., Teive, H. A., & Barsottini, O. G. (2019). Acute cerebellar ataxia: Differential diagnosis and clinical approach. Arquivos De Neuro-Psiquiatria, 77(3), 184–193. https://doi.org/10.1590/0004-282x20190020 

  14. Hartley, H., Cassidy, E., Bunn, L., Kumar, R., Pizer, B., Lane, S., & Carter, B. (2019). Exercise and physical therapy interventions for children with ataxia: A systematic review. The Cerebellum, 18(5), 951–968. https://doi.org/10.1007/s12311-019-01063-z 

  15. Grimaldi, G., Argyropoulos, G. P., Boehringer, A., Celnik, P., Edwards, M. J., Ferrucci, R., Galea, J. M., Groiss, S. J., Hiraoka, K., Kassavetis, P., Lesage, E., Manto, M., Miall, R. C., Priori, A., Sadnicka, A., Ugawa, Y., & Ziemann, U. (2013). Non-invasive cerebellar stimulation—a consensus paper. The Cerebellum, 13(1), 121–138. https://doi.org/10.1007/s12311-013-0514-7 

  16. Rodríguez-Labrada, R., Velázquez-Pérez, L., & Ziemann, U. (2018). Transcranial magnetic stimulation in hereditary ataxias: Diagnostic Utility, pathophysiological insight and treatment. Clinical Neurophysiology, 129(8), 1688–1698. https://doi.org/10.1016/j.clinph.2018.06.003 

  17. Benussi, A., Dell'Era, V., Cantoni, V., Bonetta, E., Grasso, R., Manenti, R., Cotelli, M., Padovani, A., & Borroni, B. (2018). Cerebello-spinal tdcs in ataxia. Neurology, 91(12). https://doi.org/10.1212/wnl.0000000000006210 

  18. trials, clinical. (2021, October). Troriluzole in adult subjects with spinocerebellar ataxia - full text view. Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT03701399 

  19. Zesiewicz, T., Salemi, J. L., Perlman, S., Sullivan, K. L., Shaw, J. D., Huang, Y., Isaacs, C., Gooch, C., Lynch, D. R., & Klein, M. B. (2018). Double-blind, randomized and controlled trial of EPI-743 in Friedreich's ataxia. Neurodegenerative Disease Management, 8(4), 233–242. https://doi.org/10.2217/nmt-2018-0013 

  20. trials, clinical. (2021, April). Study of CAD-1883 for Spinocerebellar ataxia - full text view. Study of CAD-1883 for Spinocerebellar Ataxia - Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04301284 

  21. trials, clinical. (2021, June). Efficacy, tolerability, and pharmacokinetics of multiple doses of oral tak-831 in adults with Friedreich ataxia - full text view. Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://www.clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT03214588 

  22. trials, clinical. (2021, April). N-acetyl-L-leucine for ataxia-telangiectasia (A-T) - full text view. Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT03759678 

  23. trials, clinical. (2021, August). EDS in ataxia telangiectasia patients - full text view. EDS in Ataxia Telangiectasia Patients - Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT02770807 

  24. Matilla-Dueñas, A., Ashizawa, T., Brice, A., Magri, S., McFarland, K. N., Pandolfo, M., Pulst, S. M., Riess, O., Rubinsztein, D. C., Schmidt, J., Schmidt, T., Scoles, D. R., Stevanin, G., Taroni, F., Underwood, B. R., & Sánchez, I. (2013). Consensus paper: Pathological mechanisms underlying neurodegeneration in spinocerebellar ataxias. The Cerebellum, 13(2), 269–302. https://doi.org/10.1007/s12311-013-0539-y 

  25. Subramaniam, S., & Unsicker, K. (2009). Erk and cell death: ERK1/2 in neuronal death. FEBS Journal, 277(1), 22–29. https://doi.org/10.1111/j.1742-4658.2009.07367.x 

  26. Andreone, B. J., Larhammar, M., & Lewcock, J. W. (2019). Cell death and neurodegeneration. Cold Spring Harbor Perspectives in Biology, 12(2). https://doi.org/10.1101/cshperspect.a036434 

  27. Prentice, H., Modi, J. P., & Wu, J.-Y. (2015). Mechanisms of neuronal protection against excitotoxicity, endoplasmic reticulum stress, and mitochondrial dysfunction in stroke and neurodegenerative diseases. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2015, 1–7. https://doi.org/10.1155/2015/964518 

  28. Meera, P., Pulst, S. M., & Otis, T. S. (2016). Cellular and circuit mechanisms underlying spinocerebellar ataxias. The Journal of Physiology, 594(16), 4653–4660. https://doi.org/10.1113/jp271897 

  29. Ising, C., & Heneka, M. T. (2018). Functional and structural damage of neurons by innate immune mechanisms during neurodegeneration. Cell Death & Disease, 9(2). https://doi.org/10.1038/s41419-017-0153-x 

  30. Barake, F., Soza, A., & González, A. (2020). Galectins in the brain: Advances in neuroinflammation, neuroprotection and therapeutic opportunities. Current Opinion in Neurology, 33(3), 381–390. https://doi.org/10.1097/wco.0000000000000812 

  31. Romano, S., Coarelli, G., Marcotulli, C., Leonardi, L., Piccolo, F., Spadaro, M., Frontali, M., Ferraldeschi, M., Vulpiani, M. C., Ponzelli, F., Salvetti, M., Orzi, F., Petrucci, A., Vanacore, N., Casali, C., & Ristori, G. (2015). Riluzole in patients with hereditary cerebellar ataxia: A randomised, double-blind, placebo-controlled trial. The Lancet Neurology, 14(10), 985–991. https://doi.org/10.1016/s1474-4422(15)00201-x 

  32. Kalonia, H., Mishra, J., & Kumar, A. (2012). Targeting neuro-inflammatory cytokines and oxidative stress by minocycline attenuates Quinolinic-acid-induced Huntington’s disease-like symptoms in rats. Neurotoxicity Research, 22(4), 310–320. https://doi.org/10.1007/s12640-012-9315-x 

  33. Gérard, C., Xiao, X., Filali, M., Coulombe, Z., Arsenault, M., Couet, J., Li, J., Drolet, M.-C., Chapdelaine, P., Chikh, A., & Tremblay, J. P. (2014). An AAV9 coding for frataxin clearly improved the symptoms and prolonged the life of Friedreich ataxia mouse models. Molecular Therapy - Methods & Clinical Development, 1, 14044. https://doi.org/10.1038/mtm.2014.44 

  34. Tsai, Y.-A., Liu, R.-S., Lirng, J.-F., Yang, B.-H., Chang, C.-H., Wang, Y.-C., Wu, Y.-S., Ho, J. H.-C., Lee, O. K., & Soong, B.-W. (2017). Treatment of spinocerebellar ataxia with mesenchymal stem cells: A phase I/IIA clinical study. Cell Transplantation, 26(3), 503–512. https://doi.org/10.3727/096368916x694373 

  35. Hoffmann, H., & La Roche, L. R. (n.d.). A study to evaluate the efficacy and safety of intrathecally administered RO7234292 (RG6042) in participants with manifest Huntington's disease - full text view. Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT03761849 

  36. trials, clinical. (n.d.). Safety and proof-of-concept (POC) study with AMT-130 in adults with early manifest Huntington disease - full text view. Full Text View - ClinicalTrials.gov. Retrieved February 25, 2022, from https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04120493 

  37. Ouellet, D. L., Cherif, K., Rousseau, J., & Tremblay, J. P. (2016). Deletion of the GAA repeats from the human frataxin gene using the CRISPR-cas9 system in YG8R-derived cells and mouse models of Friedreich ataxia. Gene Therapy, 24(5), 265–274. https://doi.org/10.1038/gt.2016.89 

  38. Ouyang, S., Xie, Y., Xiong, Z., Yang, Y., Xian, Y., Ou, Z., Song, B., Chen, Y., Xie, Y., Li, H., & Sun, X. (2018). CRISPR/Cas9-targeted deletion of polyglutamine in spinocerebellar ataxia type 3-derived induced pluripotent stem cells. Stem Cells and Development, 27(11), 756–770. https://doi.org/10.1089/scd.2017.0209 

  39. Gottesfeld, J. M. (2019). Milestones in transcription and chromatin published in the Journal of Biological Chemistry. Journal of Biological Chemistry, 294(5), 1652–1660. https://doi.org/10.1074/jbc.tm118.004162 

  40. Martier R, Sogorb-Gonzalez M, Stricker-Shaver J, Hubener-Schmid J, Keskin S, Klima J, et al. Development of an AAV-Based MicroRNA Gene Therapy to Treat Machado-Joseph Disease. Mol Ther Methods Clin Dev. 2019;15:343–58.

  41. Dong, X., & Cong, S. (2019). The emerging role of micrornas in polyglutamine diseases. Frontiers in Molecular Neuroscience, 12. https://doi.org/10.3389/fnmol.2019.00156 

  42. Serrano, M. (2018). Epigenetic cerebellar diseases. The Cerebellum: Disorders and Treatment, 227–244. https://doi.org/10.1016/b978-0-444-64189-2.00015-9 

  43. He, F., & Todd, P. (2011). Epigenetics in nucleotide repeat expansion disorders. Seminars in Neurology, 31(05), 470–483. https://doi.org/10.1055/s-0031-1299786

Comments